Kota besar Jepang dengan gedung-gedung pencakar langit dan segala pesonanya perlahan mulai kehilangan daya tariknya. Saat ini, kaum muda Jepang mulai tertarik untuk kembali ke desa.
Bukan tanpa alasan jika kaum muda Jepang yang kebanyakan merupakan karyawan kontrak di kota besar ingin mencoba hidup di desa. Mereka ingin kembali merasakan sentuhan kemanusiaan yang tergerus cepatnya ritme kehidupan perkotaan.
"Saya naik kereta untuk berangkat ke kantor setiap hari dan melihat sendiri bagaimana tidak manusiawinya kelakuan orang-orang setiap paginya," kata Megumi Sakaguchi, seorang karyawan kontrak di Tokyo, seperti dimuat BBC, Senin 28 November 2011.
Mencari ketenangan, dia pun terpikir untuk mencoba profesi petani yang merupakan profesi tradisional warga Jepang secara turun temurun.
Keinginan Megumi dan beberapa orang lainnya untuk merasakan ritme hidup yang lebih pelan di desa rupanya cocok dengan kebutuhan di prefektur Nagano. Dengan banyaknya kaum muda yang mengadu nasib ke kota besar, sawah di prefektur ini kekurangan tenaga penggarap.
Di Negeri Matahari Terbit, rata-rata usia petani adalah 68,5 tahun. "Namun semakin banyak pemuda yang ingin mencoba bertani dan hidup di desa. Kami di prefektur Nagano ingin membantu mereka, karena jadi petani itu tak mudah," kata Naoko Maruyama, seorang pejabat prefektur yang menggunakan situs internet untuk mencari peminat.
Prefektur Nagano yang terkenal dengan ladang stroberi, mentimun, dan padi, menawarkan program menjadi petani pada akhir pekan untuk para pemuda. Disini, mereka memperoleh pelatihan hal-hal yang berkenaan dengan pertanian, berikut dengan prakteknya.
Megumi mengaku pengalaman yang diperolehnya di Nagano berharga, karena ia jadi bisa lebih santai. Ia juga mengaku terkesan dengan keramahan orang-orang desa yang masih saling mengenal tetangganya, berbeda dengan yang dialaminya di Tokyo.
Keramahan desa juga menjadi faktor utama Hitoshi Kajiya meninggalkan pekerjaannya sebagai insinyur di Tokyo. "Saya muak dengan hidup saya di kota, karena hidup saya hanya habis untuk bekerja. Saya ingin berubah. Saya memutuskan untuk jadi petani karena ritme kerjanya lebih pelan namun bisa memuaskan batin saya," kata Hitoshi, yang kini meneruskan pertanian milik Giichi Tanaka di Nagano.
Bukan tanpa alasan jika kaum muda Jepang yang kebanyakan merupakan karyawan kontrak di kota besar ingin mencoba hidup di desa. Mereka ingin kembali merasakan sentuhan kemanusiaan yang tergerus cepatnya ritme kehidupan perkotaan.
"Saya naik kereta untuk berangkat ke kantor setiap hari dan melihat sendiri bagaimana tidak manusiawinya kelakuan orang-orang setiap paginya," kata Megumi Sakaguchi, seorang karyawan kontrak di Tokyo, seperti dimuat BBC, Senin 28 November 2011.
Mencari ketenangan, dia pun terpikir untuk mencoba profesi petani yang merupakan profesi tradisional warga Jepang secara turun temurun.
Keinginan Megumi dan beberapa orang lainnya untuk merasakan ritme hidup yang lebih pelan di desa rupanya cocok dengan kebutuhan di prefektur Nagano. Dengan banyaknya kaum muda yang mengadu nasib ke kota besar, sawah di prefektur ini kekurangan tenaga penggarap.
Di Negeri Matahari Terbit, rata-rata usia petani adalah 68,5 tahun. "Namun semakin banyak pemuda yang ingin mencoba bertani dan hidup di desa. Kami di prefektur Nagano ingin membantu mereka, karena jadi petani itu tak mudah," kata Naoko Maruyama, seorang pejabat prefektur yang menggunakan situs internet untuk mencari peminat.
Prefektur Nagano yang terkenal dengan ladang stroberi, mentimun, dan padi, menawarkan program menjadi petani pada akhir pekan untuk para pemuda. Disini, mereka memperoleh pelatihan hal-hal yang berkenaan dengan pertanian, berikut dengan prakteknya.
Megumi mengaku pengalaman yang diperolehnya di Nagano berharga, karena ia jadi bisa lebih santai. Ia juga mengaku terkesan dengan keramahan orang-orang desa yang masih saling mengenal tetangganya, berbeda dengan yang dialaminya di Tokyo.
Keramahan desa juga menjadi faktor utama Hitoshi Kajiya meninggalkan pekerjaannya sebagai insinyur di Tokyo. "Saya muak dengan hidup saya di kota, karena hidup saya hanya habis untuk bekerja. Saya ingin berubah. Saya memutuskan untuk jadi petani karena ritme kerjanya lebih pelan namun bisa memuaskan batin saya," kata Hitoshi, yang kini meneruskan pertanian milik Giichi Tanaka di Nagano.
Artikel Terkait